Mengunjungi Malam Patah Hati Paling Elegan

oleh Music Addicts Malaysia
1K bacaan
Artikel sumbangan: Hadri Shah

Petang itu saya sorokkan beban rutin 9–6 ke dalam laci.

Biarlah ia berlonggok di situ.

Selama hidup bergantung pada upah bulanan, selama itulah beban melunaskan cita-cita majikan berterusan.

Lagi pula, saya tak mahu beban serta lelah hari ini bercampur aduk bersama “rasa” yang akan dinikmati malam nanti.

Sementara menunggu tren berhenti di stesen Pavillion, saya mengulang dengar lagu-lagu mendung singer- songwriter kelahiran Dublin.

Malam ini, 7 Jun 23, dia bakal berpanggung di Planery Hall, KLCC, salah satu singgahan dalam siri jelajah Asia beliau.

Nasib cukup menyebelahi saya. Di saat-saat terakhir, saya diberkahi sekeping tiket membenarkan saya mendengar secara live persembahan musik mendung lelaki Dublin yang dikagumi hampir belasan tahun silam.

Saya tidak meminta lebih. Cukuplah usai malam ini tamat, hidup dapat dilanjutkan esok hari.

Ketika masuk ke dalam perut dewan Planery, Liesl Mae anak jati Malaysia yang diberi kesempatan menjadi aksi pembuka sedang menyampaikan beberapa lagu.

Nyanyiannya bagus. Lagu-lagunya menyenangkan. Diiringi dua pemain gitar, Liesl Mae santai menyambut kehadiran jiwa-jiwa yang rela menyerah diri untuk dipatah-patahkan hatinya oleh seorang lelaki yang sedang saya bicarakan — Damien Rice.

Tepat 9 malam, dewan Planery kebanggaan kaum borjuis digelapkan. Di balik gelap, terdengar seperti kata-kata aluan dibisikkan kepada 1500 fans yang sudah bersedia disentuh musiknya Damien.

 

Sosok Damien perlahan-lahan terlihat di atas pentas. Ada sedikit cahaya dimuntahkan ke atas tubuhnya.

Bersama gitar dan berpakaian seperti baru ditinggalkan kekasih, Damien tiba diiringi musim dingin negeri Ireland serta atmosfera gelap dan cukup depresif memulakan acara.

The Professor & La Fille Danse dimainkan. Saya sudah berjanji bahawa tidak akan singalong, bahkan hanya mahu menjalani pengalaman dihanyutkan lirik dan bunyian patah hati seorang Damien. Ternyata, The Professor & La Fille Danse adalah jalan pertama ke arah itu.

Selesai lagu pertama, Damien mengucapkan selamat datang kepada 1500 fansnya. Sebelum menyanyikan lagu kedua Delicate, beliau sempat berpesan, “If you feel sad and down today, be prepare to get sadder.” Ah celaka. Sudah saya katakan, hajat selepas malam ini cumalah hidup dapat dilanjutkan.

Malam itu, Damien mempersembahkan 17 lagu kesemuanya termasuk tiga lagu di momen encore. Dua daripadanya lagu baru menurut sang penyanyi.

Instrumen-instrumen yang diguna Damien agak sederhana. Namun serba sempurna bagi mengguncangkan emosi para fans.

Pentas yang nyaris suram sepanjang persembahan ada kalanya seperti dipanah kilat; sebuah efek yang meresahkan fans dalam menyertai emosi Damien.

Misalnya ketika Astronaut dan I Remember dimainkan, auranya umpama kita berada di angkasa, bunyi dengung yang berkeliaran seperti bahaya mencari mangsa, sementara gesekan chello mencakar-cakar langit sambil silauan lampu putih yang mendebarkan. Vokal Damien di sini berada di antara sebuah amarah nyata dan jalan menghampiri damai.

Damien tidak keseorangan. Beliau ditemani seorang bernama Francesca — pemain cello dan turut menyanyi bersama di beberapa lagu seperti I Remember, The Blower Daughter, The Box dan banyak lagi. Keberadaan Jessica tetap menyempurnakan Damien walau kini beliau tidak lagi bersama Lisa Hannigan seperti dahulu.

Menurut saya, menjadi Damien adalah bahagian yang sukar. Apakah lelaki ini nasib hidupnya adalah sebuah gambaran tragedi? Sekiranya bahagia adalah sifat sementara, mengapa musik dan puisinya menderita tak berkunjung siap? Kesemua lagu yang dinyanyikan, ditulis bertahun silam diluahkan seakan-akan baru semalam cintanya dibunuh kejam.

Vokal Damien pada malam itu begitu gemersik. Ada bahagianya tersekat-sekat seperti tak dapat diluahkan, beremosi namun tetap tenang seperti seorang lelaki yang berlagak gagah meski hatinya kini tinggal rangka dirosak-rosakkan seorang jalang jelita.

Paling mengesankan saya momen di mana Damien menyanyikan 9 Crimes, I dont Want To Change You dan The Box. Teriakan panjang korus 9 Crimes, “Give my gun away when its loaded that alright, yeah with you,’ merintih pada baris I Dont Want To Change You, “Ive never been with anyone in the way ive been with you, but if love is not for fun, then its doomed,” dan saya lantas mengerti sebenar-benarnya luahan lirik The Box,“So don’t give me love with an old book of rules, That kind of love’s just for fools, And I’m over it”.

Mendengar Damien dari jarak lima meter cukup membahagiakan. Pengalamannya lebih jujur, lebih sempurna, lebih meresapi berbanding mendengar dari playlist Spotify.

Damien Rice adalah penglipur lara yang mempesonakan. Walau tiap kali luahan lagunya nyaris meruntuhkan setiap jiwa yang mendengar, namun di malam itu, Damien menampakkan sisi humornya. Dengan bersahaja, dia mengusik fans yang terlewat masuk dewan. “Welcome. You are late. But dont worry, you dont miss anything.”

Lelaki Dublin ini juga sempat berterima kasih kepada Amnesty International, sebuah NGO hak asasi manusia yang menyokong jelajahnya di KL. Kata Damien, menjadi tanggungjawab tiap manusia mendukung hal-hal mempertahankan alam serta hak asasi manusia.

Di antara dua lagu terakhir (Behind Those Eyes dan I Remember), Damien kemudiannya menjemput fans merapati pentas merayakan momen terakhir bersamanya.

Saat dia berlalu pergi, seluruh dewan histeria; memintanya kembali ke pentas.

Langsung Damien mencapai gitarnya, menyempurnakan momen encore. Tiga lagu dimainkan — Amie, Rootless Tree dan terakhirnya lagu yang barangkali menemukan jutaan orang dengan Damien termasuk saya, The Blower’s Daughter.

Mungkin bagi Damien, sudah beribu kali dia memainkan lagu ini, namun bagi fans seperti saya, ia ternyata fenomenal.

Semasa suara beliau teresak-esak meneriakkan ‘Cant take my eyes of you’, ianya kedengaran cukup tragis — membayangkan betapa pilunya melihat cinta berlalu pergi. Hati ini langsung patah, walau di rumah, ada wanita kiriman Tuhan yang saya yakini akan terus mencintai saya.

Saya bayangkan, sekiranya Damien kembali semula, biarlah takdir membawanya berlipur lara di sebuah kedai kopi kecil yang lampunya suram. Sambil hadirin mengamati petikan gitar dan vokal menahan sebak, hujan di luar pun turun mengiringi lesu.

Hampir satu jam setengah berpanggung, malam bersama Damien Rice menemukan titik akhir. Ramai beredar keluar. Tak kurang juga yang masih di tempat duduk. Barangkali masih mengharap.

Atau separa percaya, selama hidup, inilah malam patah hati paling elegan pernah mereka temukan.

Tinggalkan Komen Anda

Anda juga mungkin meminati

Ala... Ada pasang Adblocker Eh?

Support la kitorang dengan benarkan ads di pelayar web korang. Kitorang faham memang sakit mata tengok ads ni. Tapi, kasi chance lah. 😅